Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
WISHES TIME
SWEET ESCAPE IT'S PAST
|
Tuesday, June 1, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (1)
BAB I
INTRODUKSI Cahaya panggung menyinari mereka yang tak kalah menyilaukannya dengan gemerlap cahaya itu sendiri. Menatap mereka bagaikan mimpi, kemudian kamu akan menyadari betapa tidak adilnya Tuhan atas ciptaan-Nya yang begitu sempurna. Aku semakin tenggelam dalam musik yang mengalun menyenangkan bersama ribuan pekik histeris menyoraki ke enam bintang yang fantastis. Namun, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tidak pernah bisa melepaskan pandanganku dari sosoknya. Seluruhnya hanya tertuju padanya, bukan lima yang lain. Dia, di balik drumnya, Rega Reksoprodjo, Ega. *** Hai, aku Kara, Reika Karanjani Tangbinbia. Anak tunggal dari keluarga besar Tangbinbia. Kamu pasti tahu siapa keluarga karena kami memang pemilik stasiun televisi terbesar satu Indonesia, orang-orang biasa menyebutnya TN atau Tontonan Nusantara. Perusahaan ini hasil jerih payah kakek buyutku dan ia sengaja menamainya begitu untuk memberi citra ke-Indonesiaan pada stasiun TV kami. Namun tentu saja acara yang diputar merupakan sebuah kolaborasi antara acara nasional dan internasional. Ya cukup dengan stasiun TV, aku sembilan belas tahun sekarang. Dan selama itu aku belum pernah punya pacar. Aku pendiam, cenderung susah dekat dengan orang lain karena aku punya pengalaman masa kecil yang buruk. Saat itu aku duduk di bangku SD, dengan banyak teman yang kuanggap teman baik dan tanpa kusangka suatu hari aku menemukan teman-temanku sedang membicarakan diriku. Aku dinilai anak kecil tak berotak yang kebetulan saja bisa masuk di sekolah itu (sekolahku dulu salah satu sekolah unggulan kota Jakarta) bukan karena kepandaianku tapi karena uang orang tuaku. Dan salah satu dari mereka mengatakan bahwa jika aku tidak kaya tentu saja ia malas dekat-dekat denganku. Aku kecewa sekali. Aku tak menyangka ada politik pertemanan semacam itu, berteman karena uang orang tuaku. Bahkan kami semua masih bocah SD. Tapi, itulah dunia. Kemudian aku sadar memang tidak ada yang bisa menggantikan Karen. Karen sahabatku dari kecil. Keluarganya juga bukan keluarga yang ekonominya rendah. Ayahnya direktur Hotel Noki, sebuah hotel yang ternama di bilangan Jakarta Pusat. Aku selalu dengan Karen sejak kecil kecuali di SD itu. Bahkan sekarang kami duduk di kampus yang sama,. Sebuah kampus khusus musik terbaik satu Indonesia. Sepertinya kalian akan mulai bosan dengan kata “terbaik” tapi begitu lah hidup orang-orang di kelas ekonomi tinggi sepertiku. Baiklah kembali lagi tentang diriku. Aku sama sekali tidak cantik. Aku tidak ramah. Tubuhku juga tidak tinggi semampai dan tidak berukuran S seperti model-model. Aku cenderung terlihat sedikit berisi. Kulitku coklat, rambutku hitam sedada, dan biji mataku sama hitamnya dengan rambutku. Aku berbeda sekali dengan Karen, semua orang bilang Karen manis. Matanya besar dan bijinya bewarna coklat muda, jika tersenyum ia memiliki lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Rambutnya hitam sebahu dan kulitnya kuning langsat. Karen langsing dan mungil. Dan ia sangat ramah membuat semua orang nyaman bersamanya. Aku ingin sekali merasa iri kepadanya namun memiliki Karen sebagai teman terdekat sudah merupakan anugerah yang besar dalam hidupku. Setidaknya ia tidak berteman denganku karena uang ayahku, dan ia bisa diajak menonton konser tanpa tiket VIP. Aku selalu merasa lebih seru begitu, maksudku, merakyat. Sekarang aku berada di dalam mobil bersama Karen. Kami melakukan perjalanan pulang setelah menonton konser salah satu band yang sedang naik daun di Indonesia. Namanya The Broken Traffic Lights, orang-orang menyebutnya dengan sebutan TBTL (baca: ti-bi-ti-el). Band ini memiliki enam personil yang isinya cowok semua. Mereka semua sangat tampan dan skillful. Vokalisnya bernama Pasha Putra Perkasa (Pasha), ini favoritnya Karen. Kemudian, di gitar ada Sebastian Gregory Sitohang (Gio), pemain bass-nya bernama Jamie Raditya (Radit), keyboardisnya bernama Rangga Restu Jiwanegara (Angga), dan drummernya bernama Rega Reksoprodjo (Ega). Ega adalah special interest-ku di band ini. Dan tak ketinggalan TBTL juga memiliki seorang pemain trumpet yang bernama Andri. Mereka luar biasa. “Hhhhh malasnya besok kuliah,” Karen menghela napas keras di sebelahku. Aku menoleh kepadanya. “Memangnya ada test?” Karen menggeleng. “Malas saja. Melihat TBTL membuatku merasa dreaming-dreaming sendiri kemudian tidak ingin kembali ke dunia nyata,” lanjutnya sambil tersenyum-senyum bahagia. Aku terkikik. Jelas, rasanya bayangan Ega juga masih melekat dengan sempurna di benakku. “Kamu harus tahu ya Kara, sepertinya tadi Pasha melihat ke arahku waktu nyanyi Favourable Monday.” Aku tertawa mendengar perkataan Karen. “Jangan menertawaiku, aku seriuuus,” sambungnya kesal sambil pura-pura merengut. “Iya iyaaa.” “Kamu tahu tidak Ra, katanya TBTL pindah label.” “Ohya? Semoga semakin sering konser deh mereka.” Karen mengangguk bersemangat mendengar perkataanku. “Memangnya mereka pindah ke label apa?” “Aku tidak tahu,” kata Karen sambil menggeleng, “Di majalah si tidak disebut ke mana.” “Ooh. Kenapa ya? Padahal label mereka sekarang tidak buruk loh.” “Mungkin bayarannya lebih tinggi kali,” sahut Karen sambil mengangkat bahu. “Hmm.. Bisa jadi.” Perjalanan kami lanjutkan dalam diam. Lagu-lagu TBTL mengalun merdu dari tape mobil. Sekitar 15 menit kemudian Honda City hitam Karen berhenti di depan rumahku. “Sampai ketemu besok, Ren” “Okay, sampai besok,” kata Karen sambil melambai ringan padaku. Lesung pipinya terlihat jelas. Akhirnya aku sudah sampai di penghujung hari Minggu, saatnya kembali ke dunia nyata sekarang walaupun bayangan tentang Ega masih terbersit jelas di benakku. >>to be continued. |