<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8819057648421106009\x26blogName\x3djcristalia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://jessicacristalia.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://jessicacristalia.blogspot.com/\x26vt\x3d-2015905045026751471', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
jcristalia@yahoo.com

"life is a climb, but the view was great"

number of visitors
(since November 7, 2008):




WISHES

live happily ever after
sarjana hukum universitas katolik parahyangan


TIME




Tuesday, June 1, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (2)

Aku jelas-jelas tercengang dengan suasana kampusku pagi itu. Orang-orang berkerumun riuh rendah membentuk sebuah lingkaran di taman. Alisku berkerut bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Tiba-tiba ide bahwa ada seseorang yang baru saja melompat dari atap kampus terbersit di benakku. Oke, aku mulai berlebihan, namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menduduki angka yang cukup tinggi akhir- akhir ini.

Tapi detak jantungku sedikit memelan ketika melihat David masih duduk dalam posisi bertapa di bawah pohon akasia di pinggir taman. Untuk sekedar informasi, David adalah seorang mahasiswa yang entah sejak tahun kapan tidak kunjung lulus. Ada kabar burung yang kudengar katanya dahulu ia jenius dan ambisius namun karena menganggap remeh, ujiannya gagal sehingga ia sangat terpukul dan sejak saat itu beralih profesi menjadi “petapa pohon akasia” karena ia memang selalu duduk dalam posisi bertapa di bawah pohon akasia. Aku sama sekali tidak mengada-ngada, mungkin David adalah orang yang terlihat paling stress satu kampus. Kacamata ber-frame hitam tebalnya merosot sampai pucuk hidung dan ia mengancing kemejanya sampai atas. Ia berjalan dengan linglung dan tak lupa, ia memejamkan mata, bersila dan meletakkan tangannya di atas paha di bawah pohon akasia. Oke, cukup tentang David, aku berjalan mendekat dan mencoba melihat apa sesungguhnya yang berhasil menggemparkan kampusku, namun lingkaran itu begitu ketat sehingga menurutku percuma saja aku mencoba melongok ke dalamnya. Akhirnya aku berjalan dengan malas menuju kelas pertamaku di lantai lima.

Kelas itu sebenarnya adalah ruang auditorium yang mungkin bisa memuat hampir 500 orang. Namun entah sejak kapan ruangan itu menjadi multifungsi, selain untuk pertemuan dan pentas, ruangan ini juga digunakan sebagai kelas. Namun, kelas yang dilakukan di sini adalah mata kuliah umum seperti bahasa Inggris dan sejarah musik. Ehm, maksudku, untuk anak-anak fakultas musik, kami wajib tahu sejarah perkembangan musik jadi sejarah musik masuk mata kuliah umum kami. Yang pasti kelas ini dihadiri bersama-sama satu angkatan tanpa memandang kamu dari jurusan mana.

Aku kembali ternganga menyadari suasana kelas yang lebih sepi daripada biasanya. Sepertinya apapun hal di bawah itu sungguh menggemparkan karena seharusnya jam segini kelasnya sudah hampir penuh. Aku memilih sebuah bangku di pojok ruangan, meletakkan tasku di atas meja kemudian merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan sarapanku. Aku terbiasa begini, makan sandwich yang isinya sangat variatif tergantung keinginan pembantuku dan minum air hangat yang diletakkan di dalam thumbler. Kemudian aku melangkah ke luar kelas dan menuju atap kampus.

Di atas sini sangat menyenangkan. Matahari pagi yang belum menyengat mulai menunjukkan dirinya dari balik awan yang bewarna putih dengan semburat warna pink dan jingga akibat biasnya. Angin di atas sini juga sangat nyaman, selalu bertiup lembut kecuali hari hujan. Yang menjadi bagian kesukaanku adalah mengamati anak-anak kampus yang menjadi titik-titik bewarna-warni dari sini. Aku mengeluarkan iPod dari saku jeansku dan memutar sembarang lagu di dalamnya. Kemudian aku mulai membuka sandwich-ku yang dibungkus rapi dengan plastik tahan panas saat handphoneku bergetar.

From : Karenina Wisnuputri
22.02.2010
07.15

KARA! KAMU DI MANA? PENTINGG!!!!!

Aku tersenyum senyum sendiri membaca sms Karen. Pasti ada kejadian yang sangat menyenangkan, soalnya sms-nya di capslock semua. Karen memang selalu berlebihan untuk hal-hal seperti ini. Aku segera mengetik balasan untuk Karen. Ingin tahu hal menghebohkan apa yang terjadi hingga ia segembira itu.

To : Karenina Wisnuputri
22.02.2010
07.15

aku di atap. sini kamu. ahaha.

Selesai membalas, aku mengunyah sandwichku sambil menikmati pemandangan di bawahku. Titik warna-warni berlalu lalang di bawah sana. Tampaknya kerumunan yang kulihat tadi pagi sudah tidak ada. Tiba-tiba aku merasa ada orang yang datang. Pasti itu Karen, tapi tumben sekali ia berjalan cepat. Biasanya jalannya sudah seperti putri Keraton. Aku membalikkan badan dan bukan Karen yang kudapatkan di sana. Aku terpaku, lututku lemas. Yang berdiri di depanku adalah KE-6 PERSONIL TBTL! Aku langsung membalikkan badanku lagi menghadap ke balkon untuk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu, kaget dan berdebar-debar. Oh Tuhan, aku melihat Ega! Ada Ega di belakangku!

“Hmm, kayaknya kita harus turun lagi ya?” ucap seseorang di belakang sana. OH. Aku mengerti sekarang, kerumunan tadi pagi pasti TBTL dan tampaknya mereka naik ke sini untuk menghindari fans yang luar biasa histeris. Aku membalikkan badanku kembali dan menatap mereka satu persatu. Tersenyum kecil kemudian berkata,

“Permisi,” setelah itu aku berlalu dari hadapan mereka. Sepertinya harus aku yang tahu diri dan hengkang dari situ. Aku berjalan cepat ke arah lift dan memencet panel yang terekat di dinding untuk turun dari situ. Ketika pintu lift terbuka alangkah terkejutnya aku mendapati Karen sendirian di dalam lift dengan tatapan kosong plus bibir yang menyunggingkan senyum bahagia.

“Astaga, Karen.”

“KARA!” Karen tersadar dari lamunannya.

“Apa-apaan sih kamu kayak orang gila ngelamun di dalam lift begitu,” ucapku sambil melangkah masuk ke dalam lift.

“Aaaah tidak penting itu, TBTL KULIAH DI KAMPUS KITA KARA!!! Ya ampun, ya ampuun!” seru Karen sambil melompat-lompat bahagia di dalam lift. Aku menatapnya sambil geleng-geleng. Setelah itu ia menyerocos tanpa henti menceritakan betapa hebohnya tadi pagi dan betapa tampannya Pasha hari itu. Kami menuju lantai lima diiringi dengan jeritan seru Karen yang heboh sendiri akibat terlalu bahagia mendapati Pasha-nya kuliah di situ sekarang.

Kelas sudah penuh sesak sekarang. Suasanya riuh rendah, semua orang membicarakan TBTL yang membuat gempar kampus hari itu. Karen bergabung dengan segerombol cewek di depan ruang auditorium yang sedang mengobrol dengan hebohnya. Tiba-tiba timbul perasaan tidak suka di dalam hatiku. Aku menghela napas, menuju kursiku dan duduk di atasnya. Tanganku sibuk mengeluarkan buku catatan dan alat tulis dari tas-ku sedangkan pikiranku melayang ke mana-mana. Entah mengapa rasanya menikmati TBTL di panggung begitu menyenangkan. Setidaknya mereka terasa begitu unreachable. Namun dengan kepindahan mereka di kampus ini, segalanya terasa begitu dekat. TBTL bisa digapai semua orang. Dan entah mengapa aku tidak suka. Oh Tuhan, aku cemburu tanpa alasan untuk sesuatu yang bukan milikku. Aku menggeleng kuat-kuat ketika suasana kelas yang riuh rendah terhenti dan semua orang berlarian ke kursinya masing-masing. Dosen kami sudah datang.

Karen duduk di sebelahku mengeluarkan peralatan tulisnya yang serba kuning. Ia memang sangat menyukai warna kuning. Aku membalas senyumnya yang riang dengan senyum kecil. Suasana hatiku sungguh tidak enak. Segera saja aku mengalihkan perhatianku ke arah dosen yang mulai berbicara tentang sejarah musik. Dan dua jam berjalan sangat lambat.

*end of chapter one.

>>to be continued.