<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8819057648421106009\x26blogName\x3djcristalia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://jessicacristalia.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://jessicacristalia.blogspot.com/\x26vt\x3d-2015905045026751471', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
jcristalia@yahoo.com

"life is a climb, but the view was great"

number of visitors
(since November 7, 2008):




WISHES

live happily ever after
sarjana hukum universitas katolik parahyangan


TIME




Saturday, June 5, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (3)

BAB II
KEJUTAN


Selesai dari kelas umum, aku berpisah dengan Karen. Ia masuk kelas piano dan aku menuju kelas saxophone. Di kampus kami, kelas alat musik tiup sedikit peminatnya. Yang terbanyak tentu saja piano, kemudian alat musik gesek seperti biola, dilanjutkan dengan kelas alat musik daerah. Kelas ini unik sekali jadi jika kamu tergabung dalam kelas itu kamu akan mempelajari alat musik khas Indonesia seperti gamelan, angklung, dan sebagainya. Peminat kelas musik daerah memang semakin banyak, menyadari musik daerah di Indonesia mulai dilupakan sehingga menjadi langka dan bayarannya sangat tinggi saat sekali tampil. Selanjutnya kelas alat musik petik seperti gitar, harpa, dan kecapi. Terakhir alat musik tiup yang terbagi menjadi kelas saxophone, trumpet, flute, dan lainnya. Anak yang tergabung di kelas saxophone sedikit sekali, kami hanya ber-8. Rata-rata jumlah siswa kelas alat musik tiup memang sedikit, kurang dari 10 orang.

Kelas saxophone belum ada orang. Memang jadwal kuliah kami dimulai 30 menit lagi. Hanya saja biasanya kelas tetap ramai, setidaknya untuk sekedar mengobrol dan berlatih meniup. Mungkin ini ada hubungannya dengan kehadiran TBTL di kampus. Semua orang jadi lebih senang berjalan-jalan di koridor dengan harapan akan berpapasan dengan TBTL, mungkin kalau bisa mengajak mereka kenalan, atau mencomot salah satu personilnya untuk diajak bergabung ke dalam band mereka. Perlu diingat, kampus kami adalah kampus musik, jadi banyak sekali band-band yang dibentuk di sini.
Perasaan tidak suka muncul kembali di benakku saat memikirkan orang-orang kampus bereaksi berlebihan terhadap TBTL. Kemudian aku merasa aku sangat konyol karena mereka kan sedang tenar jadi tidak heran kalau akhir-akhir ini fans-nya benar-benar banyak. Lagipula mereka memang bagus jadi tidak heran kalau fans-nya histeris. Aku meletakkan koper saxophoneku di atas meja. Duduk sambil menopang dagu, kemudian menghela napas. Mengapa mereka pindah ke kampus ini ya? Agak aneh. Mungkin saja jadwal kuliah kami santai dan mereka memang ahli dalam alat musiknya masing-masing, tentu saja akan mudah untuk mengikuti materi yang disuguhkan kemudian mendapatkan hasil yang sempurna. Aku menghela napas kembali.

“Kara,” sebuah suara lembut yang sudah lama tak kudengar memanggilku dari belakang. Aku menoleh.

“ADI? Oh Tuhan aku kangen sekali!” aku langsung belari ke tempatnya berdiri. Memeluknya dengan erat.

Aditya Surya Wisnuputra atau yang biasa kupanggil Adi berdiri di hadapanku sekarang. Aku benar-benar kangen padanya. Adi adalah kakak laki-laki Karen. Dua tahun lalu ia pergi ke Irlandia untuk melanjutkan sekolah musiknya. Umur kami berbeda 4 tahun, saat Adi ke Irlandia, aku dan Karen masih kelas 3 SMA. Kami ber-3 dekat sekali dan Adi sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Adi balas memelukku, parfumnya yang lembut menyeruak di hidungku, wangi yang sama dengan tahun-tahun lalu.
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat-lekat.

“Kapan kamu sampai, Di?”

“Tadi pagi,” katanya sambil tersenyum riang.

“Karen tahu?”

“Tidak”

“Sudah bertemu dengannya?”

“Belum, kelas piano sudah dimulai kan?” Aku mengangguk. Kami berpandangan kemudian tertawa bersama. Setelah itu duduk berdampingan. Adi tinggi dan tegap. Wajahnya mirip sekali dengan Karen, ia cukup tampan. Adi merupakan sosok kakak yang sempurna bagiku, ia logis dan bijaksana. Nasihatnya begitu menenangkan walaupun terkadang ia berbicara tentang sesuatu yang menyakiti hatiku. Tapi Adi tahu bagaimana menyampaikannya padaku sehingga aku bisa menerima segala nasihatnya dan tentu saja menerimanya dengan lapang dada kemudian memperbaiki sikapku.

“Bagaimana kabar Om dan Tante Tangbinbia?” Adi menganggap nama keluargaku sangat lucu sehingga ia jarang sekali memanggil ayah ibuku dengan sebutan Om Raka dan Tante Anjani namun selalu dengan nama Tangbinbia.

“Mereka baik. Dan mereka akan super senang kalau tahu kamu pulang, Di.”

“Ohya? Kenapa?”

“Karena Adi akhirnya kembali untuk mengawasi putri mereka yang nakal.” Adi tertawa
mendengar perkataanku.

“Dasar anak perempuan.”

“Ya memang begitu. Biasanya orang tua tidak pernah menganggap anak perempuannya cukup dewasa untuk menghadapi kenyataan hidup sendiri. Menurut mereka usia kuliah pun belum bisa lepas dari pengawasan.”

“Tenanglah Kara, kamu kan anak tunggal jadi tak heran ayah ibumu khawatir terus. Kalau kamu tidak ada mereka harus menyayangi siapa?” Aku menghela napas.

“Ya aku mengerti. Tapi memang selalu begitu bukan? Anak perempuan selalu dilarang-larang.”

“Ya, aku tahu, ayah ibuku juga protektif terhadap Karen. Tapi ya memang begitu Kara, kalau kalian diapa-apakan ruginya kalian yang tanggung, kita sih kaum lelaki tidak berbekas apa-apa. Mengerti kan maksudku? Tidak semua orang baik di luar sana.” Aku mengangguk mendengar perkataan Adi, kemudian menghela napas.

“Nah, ini yang ingin kutanyakan. Sedang kesal bukannya?”

“Hah?”

“Kamu menghela napas terus dari tadi.”

“Ooh, ya begitulah. Ada yang terasa sedikit mengganggu.”

“Mau cerita?” tanyanya singkat. Aku menghela napas dan menggeleng.

“Kamu akan menganggapku anak paling konyol satu dunia jika kuceritakan.” Adi tersenyum kecil sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya.

“Aku memang sudah menganggapmu begitu.” Aku menatapnya tak percaya. Adi tertawa melihat perubahan ekspresiku.

“Aku bercanda.”

“Tentu,” jawabku singkat. Tanganku bergerak menopang daguku dan aku menghela napas lagi.

“Tuh kan. Dua kali dalam semenit.”

“Ini masalah konyol, Di. Aku tidak ingin ditertawakan.”

“Aku tidak akan menertawakanmu.”

“Ini memalukan.”

“Hmmm...”

“Sangat memalukan.”

“Jadi sebenarnya kamu ingin cerita atau tidak?” Aku menghela napas lagi dan memulai
ceritaku tentang betapa tidak sukanya aku dengan kepindahan TBTL di kampus ini karena mereka terasa begitu tergapai dan aku tahu perasaanku ini konyol tapi aku tetap saja tidak suka. Apalagi menerima kenyataan bahwa aku tegila-gila dengan teman sekampusku sendiri sekarang. Maksudku, tergila-gila pada Ega. Adi tersenyum-senyum mendengar ceritaku.

“Kamu menertawakanku.”

“Oh, maaf,” katanya sambil menghentikan senyumnya. Ia melirik arlojinya singkat
kemudian bangkit berdiri dan menarik lenganku.

“Ayo.”

>>to be continued.