Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
WISHES TIME
SWEET ESCAPE IT'S PAST
|
Saturday, June 5, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (4)
Aku dan Adi duduk di bawah payung lebar bewarna putih dengan tiang bewarna coklat di Cafè Pisa. Adi memesan semangkuk es krim dengan 12 rasa yang berbeda-beda, Karen pasti gondok setengah mati jika ia tahu ia tidak diajak untuk mengikuti acara membolos yang super menyenangkan ini. Aku berebutan es krim dengan Adi dan tentu saja berebut astornya juga. Sudah lama sekali kami tidak begini. Rasanya sangat menyenangkan apalagi suasana diimbangi dengan langit yang cerah dan angin yang bertiup lembut.
“Kenapa kamu pulang, Di?” “Sudah dua tahun lebih, Kara.” “Ya, lalu?” “Kuliahku sudah selesai, anak bodoh.” Aku nyengir lebar mendengar perkataan Adi. Aku menyendok es krim dari mangkuk, “Lalu setelah ini kamu mau ngapain, Di.” “Kerja.” “Oh, tentu. Di mana dan ngapain?” Adi tertawa mendengar pertanyaanku. “Kenapa si?” tanyaku lagi. “Aku merasa sedang diinterogasi.” “Ya, aku memang sedang melakukannya,” sahutku cuek sambil menatap mangkuk es krim kami yang kosong dengan sedih, “Es krimnya menguap dengan cepat.” “Pesan lagi,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah pramusaji untuk memesan menu yang sama. Aku tersenyum pada Adi. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Di,” ujarku ketika pelayan cafè tersebut berlalu. Adi meraih gelasnya dan meneguknya. “Aku berencana membangun sekolah musikku sendiri, Kara.” “Wow. Modalnya dari mana?” “Depositoku dan tentu saja pinjam papa dulu mau tidak mau.” “Sudah dalam proses?” “Tentu belum. Aku masih ingin cari pengalaman dulu, Ra. Aku sudah dapat kerja di sini, lumayan, untuk menambah modal,” katanya sambil menarik lengan kemejanya. Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasan Adi. “Kerja apa, Di?” “Tentu saja mengajar saxophone.” “Ooo. Di mana, Di?” “Kampusmu.” Aku langsung tersedak air putih yang sedang kuminum. Adi dengan sigap menyodorkan beberapa lembar tissue ke arahku sementara aku terbatuk-batuk. Adi tertawa santai. “Aku serius, Kara. Mulai minggu depan aku akan jadi pendamping Pak Pratama kemudian bulan depan aku resmi jadi dosenmu.” Aku menatap Adi tak percaya. “Memangnya Pak Pratama mau ke mana, Di?” Pak Pratama adalah dosen saxophoneku yang harusnya kelasnya kuikuti tadi kalau tidak diajak membolos oleh Adi. “Beliau sudah harus pensiun, Ra. Kamu sadar tidak umurnya sudah berapa?” “Aaah benar, eh, loh, harusnya tahun ini ya? Tahun ini kan dia sudah 66.” “Ya, tapi belum ada penggantinya, jadi masih mengajar sampai bulan depan.” Aku mengangguk-angguk kemudian terdiam. Adi menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. “Pasti rasanya aneh sekali, Di,” kataku sambil menatap matanya dengan dahi yang berkerut. “Apanya yang aneh?” “Diajar olehmu.” “Aku akan mengajar sebaik Pak Pratama kok.” Aku tertawa kemudian menggeleng cepat. “Bukan itu maksudku, Di. Tentu saja kamu akan sebaik Pak Pratama. Maksudku seperti dosenku adalah kakakku.” Adi tertawa. “Tenang saja, yang penting aku membawa angin segar di kelasmu.” “Hah? Apa maksudnya?” “Aku tampan.” “APAA?” aku terbelalak menatap Adi tak percaya. Sejak kapan ia narsis begitu. “Bercanda,” jawabnya singkat disertai dengan senyum kecil. “Oh tentu,” tensiku turun dengan cepat dan mangkuk ke-2 kami datang. Aku dan Adi saling menatap dan meraih sendok kami masing-masing. “Satuuuu,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dari mataku. Aku nyengir bandel ke arahnya dan ikutan menghitung, “Duaaaaa,” “TIGA!” ucap kami bersamaan sambil menyurukan sendok kami masing-masing ke mangkuk es krim itu, siap menghabiskannya sampai licin. “ADIIII!!” reaksi Karen sama persis denganku ketika ia melihatku dan Adi berdiri menunggunya di depan kelas piano. Ia langsung berlari dan memeluk Adi dengan erat. Suasana hatiku sudah jauh lebih baik, untung saja Adi pulang. Karen mengamit lengan Adi dengan manja dan kami berjalan di sepanjang koridor kampus. Kami sampai di depan lift. Adi memencet tombol naik di sebelah kiri lift. Semasa kuliahnya, Adi juga mengambil jurusan saxophone. Ia seorang pemain saxo yang sangat gemilang. Menang di berbagai festival dan sering dikirim ke luar negeri untuk mengikuti lomba-lomba. Pialanya sangat banyak dan ia berhasil semakin mengharumkan nama kampus kami di mata internasional. Adi disayang bukan main oleh rektor kampus kami, dianggap semacam kebanggaan kampus. Dan sekarang, ke sana lah kami akan menuju, ruang rektor kampus kami. Adi bilang ia ingin sekedar menyapa sambil membicarakan soal pekerjaan barunya bulan depan. “Ini tidak adil,” kata Karen pelan ketika kami melangkah masuk ke dalam lift. Aku dan Adi langsung menoleh ke arah Karen secara bersamaan. Wajah anak itu ditekuk sampai jelek. Adi langsung senyum-senyum, “Apanya yang tidak adil adikku sayang?” “Habis pulang-pulang dari Irlandia kamu malah menemui Kara duluan, Di. Adikmu kan aku!!” Adi tertawa senang. “Salahkan kelasmu mulai duluan, aku jadi tidak bisa mengajakmu makan es krim,” sahut Adi dengan nada menggoda. Aku menyikut siku Adi untuk memperingatkannya bahwa Karen pasti ngambek setengah mati kalau tahu tidak diajak membolos. “Apaa? Makan es krim? Tadi Kara bolos dong?” Karen memelototiku. Aku langsung buang muka bergaya tidak tahu apa-apa. Adi semakin senang. Ia mengangguk bersemangat, “Iya, aku yang mengajaknya membolos.” “Lalu Kara kamu traktir makan es krim?” “Iya,” jawab Adi sambil mengangguk lagi. “AAAH GA ADIL!!!” Karen merengut sejadi-jadinya. “Wah adikku cantik sekali cemberut begitu,” kata Adi sambil mengacak rambut Karen. Karen tersenyum kecut. Lift berhenti di lantai tiga dan terbuka. Untuk ke-2 kalinya hari ini, lututku kembali lemas. Enam personil TBTL berdiri di hadapan kami. Karen langsung membenahi wajahnya yang semula cemberut. Kami berpandang-pandangan sesaat sampai Andri, salah satu personil TBTL membuka mulutnya, “ADI?” katanya dengan terkejut. “Wah ANDRI!” balas Adi tak kalah terkejut. Aku dan Karen langsung berpandang-pandangan. Adi kenal dengan Andri? Wah ini sih benar-benar seru! “Masuk-masuk,” kata Adi mengajak enam personil TBTL untuk masuk ke dalam lift. Aku merapat ke dinding memberi ruang bagi mereka. Betapa banyak kejutan yang kualami hari ini. “Bukannya lagi di Irlandia ya mestinya?” tanya Andri kepada Adi. “Udah pulang kok, udah selesai kuliahnya Dri.” “Wuoow. Memangnya kapan pulangnya?” “Tadi pagi .” “Hee? Gila langsung ke sini,” kata Andri sambil geleng-geleng. “Ada yang harus diurus di sini. Gimana kabar, Dri?” “Sibuk nge-band akhir-akhir ini.” “Band apa?” “Nama band-nya The Broken Traffic Lights, di Irlandia belom sampe si, cuma kalo nge-check di 4shared udah ada kok lagu-lagu kita,” kata Andri sambil tertawa bercanda. Adi mengangguk, “Ternyata band lu toh yang bikin heboh kampus hari ini.” “Wah, bisa aja.” Andri tertawa lagi diikuti dengan tawa lima personil yang lain. Daritadi aku sibuk menatap Ega yang sedang memperhatikan percakapan antara Adi dan Andri. Tulang pipinya yang tegas terlihat begitu sempurna di bawah sinar lampu lift. Sebuah kacamata ber-frame kotak tebal warna hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Matanya agak sayu, sepertinya ia lelah. Terang saja pasti TBTL jadwalnya sangat padat akhir-akhir ini. Dan terakhir kulitnya yang bewarna coklat terbakar membuatnya terlihat lebih tampan lagi. Tiba-tiba aku menyadari betapa tidak sopannya aku menatapnya seperti itu sehingga aku segera memalingkan wajahku menatap sepatuku sambil berharap bisa menatapnya seperti itu lagi. Kami sampai di lantai tujuh, tempat ruang rektor berada. Hatiku diliputi perasaan tidak ingin beranjak dari situ karena ada Ega di dalamnya. “Bagaimana kalau nanti kita ngumpul?” tanya Andri sebelum kami keluar dari lift. “Wah boleh, nanti kalo urusan gue udah selesai gue telpon deh. Masih pake nomor yang dulu kan?” “Iya. Tapi gue ngajak temen band gue ya, Di,” kata Andri sambil menunjuk lima personil TBTL yang lain. “Oh oke, gue juga ngajak cewek-cewek gue,” balas Adi sambil menunjuk ke arahku dan Karen. ASTAGA. Aku terkesiap dan Karen segera saja memelototi Adi dengan garang. Adi tertawa singkat kemudian melambai ringan ke arah Andri seiring dengan pintu lift yang mulai bergerak menutup. “DIIII KOK KAMU BISA KENAL SAMA ANDRI???” “Jeez Karen, tidak usah berteriak seperti itu,” jawab Adi dengan wajah kaget. “Ahh, maaf, maaf, aku terlalu gembira,” kata Karen memelankan volume suaranya. Kemudian percakapan mereka berubah menjadi dialog sayup-sayup di kepalaku. Aku sibuk membayangkan Ega. Ega, Ega, dan Ega. Aku mendengarkan bagaimana Adi bertemu Andri dengan tidak seksama, pikiranku sepenuhnya tertuju pada Ega sampai akhirnya lenganku diguncang-guncang oleh Karen yang sedang super excited dengan kenyataan kakaknya teman Andri, “KARA BAYANGKAN HABIS INI KITA AKAN PERGI BARENG TBTL!!” “Astaga Karen, santai,” jawabku benar-benar kaget. Karen nyengir senang dan kembali mengamit lengan Adi dengan manja kemudian berjalan dengan sedikit melompat-lompat. Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatku itu. “Kalian tunggu di sini saja, aku tidak lama,” ujar Adi ketika kami sampai di depan pintu ruang rektor. Aku dan Karen mengangguk mengerti kemudian melambai kecil ke arah Adi. Sementara Adi menghilang di balik pintu besar, aku dan Karen berjalan menuju ujung lorong dan duduk di depan sebuah jendela besar, di lantai. “Aku senang Adi pulang,”kata Karen lembut. Aku mengangguk menyetujui perkataannya. “Kalau aku bukan adiknya pasti aku sudah naksir berat sama Adi,” katanya lagi, kali ini sambil meluruskan kakinya. Aku mengangguk lagi. Karen langsung menatapku sambil memicingkan mata, “Kamu suka Adi ya, Kara?” “Hah?” “Kamu kan memang bukan adiknya! Tadi kamu juga setuju kalau bukan adiknya pasti naksir berat sama dia,” seru Karen. “Astaga,” aku tertawa, “Tentu saja aku suka sekali sama Adi, tapi bukan suka seperti itu, Ren. Bagiku ia juga seorang kakak bukan seorang pria. Eh tentu saja ia seorang pria, hmmm, ya kamu mengerti lah maksudku,” jawabku tenang. Karen mengangguk. “Padahal menyenangkan sekali membayangkanmu menikah dengan Adi.” Aku tertawa lagi mendengar perkataan Karen. “Tidak kok. Itu tidak mungkin, Karen.” “Sungguh, Ra, kalian cocok.” “Hmm, kita lihat saja nanti.” Karen hendak membuka mulutnya untuk membalas perkataanku tapi ia tidak jadi melakukannya karena kami mendengar suara langkah kaki. Awalnya kukira itu Adi tapi ternyata itu adalah ke-6 personil TBTL. “Hai,” Andri melambai kecil kepada kami, “Adi menyuruh kami naik ke sini.” “Ohyaya, tunggu ya, Adinya masih di dalam ruang rektor,” kata Karen bersemangat. Matanya berbinar-binar, ia benar-benar senang melihat TBTL. Setelah itu, suasana menjadi sunyi, ke-2 pihak salah tingkah. “Ehhm, kenalkan ini teman-temanku,” kata Andri lagi. Aku tersenyum mendengarnya. Manis sekali si Andri ini. “Kami tahu kok siapa kalian,” jawab Karen dengan riang. “Ohh, baiklah, kalian siapa?” Senyumku semakin mengembang. Entah mengapa perkataan Andri membuatku merasa kembali ke masa-masa SD ketika berkenalan dengan anak sekolah lain. “Aku Karen dan ini sahabatku, Kara,” Karen menjawab lagi. Ke-6 personil TBTL mendengarkan perkataan Karen dengan seksama. Aku menatap mereka satu persatu. Ya ampun, benar-benar tidak adil, jika enam makhluk sempurna membentuk sebuah grup ternyata hasilnya benar-benar seperti menatap mimpi. Andri yang berada paling depan memakai kaos dengan gambar Astro boy warna putih dan jeans biru. Ia tidak begitu tinggi dibanding ke-5 temannya yang lain tapi matanya yang berbinar ceria dinaungi alis yang tebal dan hidungnya yang mancung tidak membuatnya kalah tampan dengan ke-5 temannya. Di sebelahnya berdiri Pasha Putra Perkasa, wajahnya agak lonjong, tulang pipinya tinggi, dan sorot matanya tajam. Ia memakai kaos coklat dengan pinggiran kerah bewarna salem yang dilapisnya dengan cardigan warna coklat muda yang digulung asal-asalan sampai ke pangkal lengan. Rambut halus yang tumbuh di sekitar dagunya tidak dicukur rapi membuatnya terlihat tegas. Berbeda dengan Jamie Raditya yang berdiri di belakangnya, ia lebih tinggi kira-kira 5 cm dari Pasha. Kulitnya sedikit coklat dengan rambut pendek rapi dan tulang hidungnya tidak terlalu tinggi. Matanya hitam dan dilapisi dengan kacamata berframe hitam tipis yang membuatnya terlihat pandai. Ia mengenakan kemeja warna biru laut yang digulung rapi sampai pangkal lengannya dan jeans gelap. Kemudian, di sebelah kiri Andri berdirilah Gio. Seperti layaknya orang Batak, kulit Gio agak gelap dengan rahang kotak yang sangat tegas. Matanya besar dan alisnya tebal, kurang lebih ia setinggi Pasha dan wajahnya sangat ramah. Di serong kiri belakang Gio, berdirilah Angga. Angga paling kurus dibanding ke-5 personil TBTL yang lain. Rambutnya keriting pendek dan warnanya tidak terlalu hitam. Kulitnya putih dan rahangnya kotak. Matanya berbentuk seperti kacang almond dan bibirnya tipis. Ia mengenakan kaos warna biru gelap dan jeans putih. Dan terakhir di belakang Andri berdirilah Ega. Ia masih tampak sama tampannya dengan Ega yang tadi di lift, ia mengenakan kaos hitam dan jeans biru keabu-abuan. Tetap saja, dari deskripsi panjang lebar di atas, hanya satu kata yang benar-benar tepat mendeskripsikan mereka : tampan. Tampan dengan caranya masing-masing. “Jadi yang mana pacar Adi?” tanya Andri memecah kesunyian. Aku dan Karen segera berpandang-pandangan dan tertawa geli kemudian Karen menjawab Andri sambil geleng-geleng kepala, “Tidak ada, aku adiknya dan Kara sahabatku dari kecil, jadi sudah seperti adiknya juga.” “Ah, lu kan cewek atap itu!” tiba-tiba Gio menyambar dari belakang dengan logat bataknya, “Pantas dari tadi rasanya pernah lihat.” Aku tersenyum ke arah Gio. Karen menatapku bingung. “Enak ya di atas sana?” Gio mengangguk mendengar perkataanku. “Ya, sepertinya kita berhutang kata terima kasih nih,” kata Angga dengan suaranya yang berat. Aku tertawa, “Jangan dipikirkan. Bagaimana rasanya hari pertama di kampus?” tanyaku sopan. “Terkejut sekali dengan sambutannya,” Pasha menjawab, suaranya berbeda dengan saat ia menyanyi, yang sekarang terdengar jauh lebih ringan. Aku tertawa lagi. “Kenapa kalian pindah ke kampus ini?” Karen bertanya dari sebelahku. “Kami pindah label dan pemilik label itu juga ternyata pemilik kampus ini,” jawab Pasha sambil menatap Karen. Karen pasti sangat berdebar-debar, aku bisa merasakan ia sedikit merosot di sampingku, mungkin akibat lututnya lemas bisa mengobrol langsung dengan idolanya. Aku meluruskan kakiku. “Di sini tidak buruk kok, kalian hanya perlu membiasakan diri,” kataku tenang. Pasha mengangguk. “Semoga orang-orang juga segera terbiasa dengan kehadiran kita di kampus,” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Pasti tidak enak sekali kalau selalu dikejar fans begitu, bahkan di kampus sekali pun. Jangan-jangan atapku sebentar lagi juga ramai dengan fans TBTL. “Apakah kalian fans kita juga?” tanya Andri tiba-tiba. Di belakang sana Ega terkikik geli dan Gio merengut. “Dri, apaan si lu nanya begitu, ga sopan, ancur,” kata Gio sambil memukul kepala Andri. “Ga usah dijawab Kara, anggap aja orang gila,” sahut Angga yang sekarang bergabung memelototi Andri. Tiba-tiba aku merasa dialog-ku dan Pasha tadi sangat formal mendengar reaksi Gio dan Angga sekarang. Aku tertawa-tawa melihat tingkah mereka, seru sekali nampaknya sangat akrab. Dan akhirnya, Adi keluar dari ruang rektor. “Sudah bertemu rupanya,” katanya singkat. Karen mengangguk antusias. “Jadi kita mau ke mana, Dri?” kata Adi lagi. “Makan siang dong!” sahut Andri sambil nyengir lebar. “Ke mana?” “Sesuatu yang jauh dari fans,” jawab Ega tiba-tiba sambil menegakkan tubuhnya. Kami pun berjalan sepanjang lorong untuk segera meninggalkan kampus dengan Ega di paling depan. *end of chapter two. >>to be continued. |