<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://draft.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8819057648421106009\x26blogName\x3djcristalia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://jessicacristalia.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://jessicacristalia.blogspot.com/\x26vt\x3d-2015905045026751471', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
jcristalia@yahoo.com

"life is a climb, but the view was great"

number of visitors
(since November 7, 2008):




WISHES

live happily ever after
sarjana hukum universitas katolik parahyangan


TIME




Wednesday, December 21, 2011
TENTANG GURU, TENTANG PENDIDIKAN YANG IDENTIK DENGAN SATU KATA : ENTAHLAH

kalau boleh saya berkata,
persetan dengan HANYA sekedar ideal.
saya juga hidup dengan realitas,
saya di sini juga bergulat dengan segenap kenyataan.
andai saya raja,
mimpi bukanlah belaka.
-unknown

Terkadang kita terinspirasi dengan hal-hal kecil yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Hari ini, saya duduk makan siang bersama teman-teman SD saya dan mendengar sebuah cerita, begini kisahnya.

Ada ibu x, seorang guru dari sekolah y terserang penyakit kanker. Entah ini kanker apa karena teman saya ini juga tidak tahu persis apa yang terjadi dengannya, pokoknya katanya antara kanker rahim atau payudara. Intinya, sejak terserang kanker tersebut, ibu ini hidupnya miris. Sudah janda, kerjanya kasbon ke yayasan terus untuk biaya makan sehari hari, sementara gajinya habis tiap bulan untuk beli obat. Yayasan tidak memberi kebijakan apapun dan yang pasti ibu ini kehabisan cara membayar utangnya ke yayasan karena setiap bulan gajinya habis untuk beli obat. Selanjutnya malah dihadapkan dengan SP dari yayasan. Ironis.
Pokoknya, ada satu pernyataan yang keluar dari mulut teman saya dan bilang begini,
"Hidup sekarang aja udah susah, bayangin ga kalo didepak dari sekolah? Mau berobat gimana? Mau makan gimana?"

Saya diam. Kaget.
Ini bukan sekolah tidak mampu, sekolah mapan yang dikelola yayasan yang mapan.
Lalu, pernahkah kita berpikir tentang sekolah lain yang tidak mapan?

Baik, itu pengantarnya. Sekarang saya ingin berputar dulu.
Kita tahu pendidikan di Indonesia ini sama kacaunya dengan pelaksanaan hal apapun juga di negara kita. Perbaikan jalan kacau, perbaikan sanitasi kacau, bahkan seringkali solusi yang dilakukan tidak tepat tujuan dan tidak tepat sasaran, seperti BLT itu saya rasa.
Yang terpenting dan yang sungguh harus kita pertanyakan adalah masalah moralitas generasi bangsa. Di sini saya tidak hanya bicara generasi muda tetapi juga generasi tua yang harusnya jadi panutan dan contoh yang inspiratif bagi kaum mudanya.
Sayangnya, salah satu sarana pendidikan moral ini adalah lewat agen pendidikan formal yang ditata sama kacaunya dengan urusan ekonomi, sanitasi, transportasi, dan sebagainya.
Sekali lagi ironis.

Berjuta-juta anak Indonesia tidak bisa menerima pendidikan. Ini empiris. Alasannya banyak, sama banyaknya dengan jumlah mereka sendiri. Rasanya seperti tidak tertolong lagi tapi tentu ada jalan. Banyak jalan. Salah satunya menolong lewat mereka yang nasibnya lebih beruntung, menolong lewat mereka yang bisa menerima pendidikan.
Sekarang pertanyaannya, sudahkah ada kegiatan pendidikan yang maksimal bagi mereka yang bernasib sedikit lebih beruntung?
Hal ini yang harus kita renungi dan jawab perlahan-lahan.

Menurut saya, unsur paling esensial dari dunia pendidikan adalah tenaga pengajarnya. Sekali lagi, ini menurut saya, kalau Anda tidak sependapat maka sungguh saya tidak punya hak apa-apa untuk mendebat atau menilai benar salah pendapat Anda.
Tenaga pengajar dewasa ini benar-benar sulit untuk diregenerasi. Dalam tulisan kali ini saya ingin berbicara soal guru khususnya. Bisa kita lihat dengan jelas bahwa tidak adanya perhatian dan campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang memihak guru menjadi salah satu alasan mengapa profesi ini sulit diregenerasi. Di lain sisi, jika kebijakannya sudah ada, prakteknya kacau seperti biasa. Bisa kita lihat dari gaji guru, berikut ini saya kutip dari

"Data berikut merupakan gamabran rendahkanya gaji guru swasta. Saat ini guru yang mengajar di sekolah swasta berjumlah sekitar 600.000 guru dengan gaji rata-rata sekitar Rp 200.00,00 per bulan. Bahkan ada guru swasta yang gajinya antara Rp 100.000,00 - Rp 150.000,00 per bulan. Sungguh gaji yang tidak layak untuk tenaga profesional, sebagian besar guru sekarang sudah berpendidikan S1 atau D4. Gaji tukang batu saja per harinya Rp 40.000,00 atau sekitar Rp 1.200.000,00 per bulan. Masih kalah juga dengan gaji buruh pabrik yang masing-masing daerah memiliki peraturan besarnya upah minimum regional (UMR). Sebagai contohnya untuk UMR di DKI Jakarta tahun 2011 sebesar Rp 1.290.000,00. Gaji guru swasta di Jakarta dengan masa kerja lebih dari dua tahun di bawah 2 juta rupiah per bulan. Bahkan ada yang memperoleh gaji Rp 750.000,00 per bulan."

Lain lagi saya kutip dari

"Bagi kami yang telah lama bergulat dengan anak-anak miskin, ada banyak pergulatan hidup sebagai pendidik selama mendampingi mereka. Seorang sahabat kami dibuat menangis ketika siswinya tak mau ikut ujian karena lebih memilih bekerja demi menghidupi keluarganya.

Sahabat lain merasakan kebermaknaan sebagai pendidik ketika menjemput paksa sejumlah siswa agar mau mengikuti ujian meski belum melunasi uang sekolah.

Yang lain lagi merasa lega ketika semua siswanya bisa mengikuti ujian meski untuk itu ia harus mengemis kepada donatur demi biaya ujian para siswanya. Ada juga yang bersyukur sekaligus geli karena beberapa kali harus rela menjual burung peliharaan untuk biaya akomodasi lomba para siswanya."

Selain itu saya pernah mewawancara seorang sahabat sekaligus pendidik saya yang berprofesi sebagai guru. Beliau sudah mengabdi selama 15 tahun dengan gaji 3,5 juta per bulan. Yang di bawah 15 tahun 1-3 juta. Yang baru masuk di bawah satu juta.

Ini baru beberapa contoh dari banyak kejadian lain yang terjadi di luar sana. Perlu kita ingat, kepentingan guru bukan hanya berhubungan dengan materi, tapi juga tentang passion dan kepuasan batin saat siswanya berhasil. Namun, jika untuk menjadi guru harus begini sulit, tak heran regenerasinya sulit.
Soal gaji, bagaimana pun banyak orang yang menjadikan titel guru sebagai profesi utama dalam kehidupan mereka. Tapi bagaimana caranya menghidupi diri sendiri dan keluarga jika gaji saja bisa di bawah UMR? Memang, sudah dikatakan sejak dulu, guru adalah profesi mulia, tapi ada kenyataan hidup yang tidak bisa kita pungkiri dari sekedar idealisme teori.
Bahkan, jika kita mau menilik kisah-kisah yang lain, banyak guru yang nasibnya lebih tidak beruntung dari sekedar gaji di bawah standar UMR terutama bagi mereka yang berhadapan dengan anak-anak dari keluarga miskin. Kalau boleh saya berpendapat sebenarnya profesi guru ini bukan lagi profesi mulia tapi bisa berubah jadi profesi sangat mulia. Hahaha, baik itu hanya intermezzo belaka.
Maka, tidak mengherankan banyak guru yang pada akhirnya jadi komersil, hanya mau mengajar di sekolah mapan dengan tunjangan sarana dan prasana yang serba mewah dan canggih, ini semua karena terpaut pada realitas kehidupan yang sifatnya menuntut. Idealisme guru runtuh, berujung kepada pendidikan yang bergulir menuju titik suram, bukan titik cerah.

Bagaimanapun keseimbangan antara idealisme dan realisme adalah penting. Antara yang seharusnya dan yang semestinya.

Pendidikan kacau, yang tidak mampu tidak terjangkau, yang mampu tidak dimaksimalkan. Pendidikan yang kacau berarti moralitas bangsa melemah. Tentu, dampak keboborokan moral sudah kita rasakan sekarang, namun hal ini akan ditumpuk terus seperti bom waktu yang jelas akan meledak suatu hari nanti. Saya pribadi, tidak ingin hal ini terjadi.

Pendidikan adalah unsur yang esensial dalam penyelenggaraan negara. Pendidikan adalah hal yang bisa membawa seseorang keluar dari imaji yang selama ini membelenggunya. Pendidikan adalah hal yang bisa menuntun bangsa kita keluar dari kemiskinan. Pendidikan harus dilestarikan, demikian pula profesi guru juga harus dilestarikan. Pernahkah kalian membayangkan profesi guru di Indonesia ini punah?

Baik, sekarang, jika kita ingin berefleksi lebih dalam dan kembali ke semboyan negara demokrasi : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tentu saja semua urusan ini bukan sekedar masalah pemerintah. Ini masalah rakyat dan nasibnya ada di tangan rakyat. Jadi pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan?

Atau lebih jauh lagi, apakah kita pernah dan cukup peduli?