<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8819057648421106009\x26blogName\x3djcristalia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://jessicacristalia.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://jessicacristalia.blogspot.com/\x26vt\x3d-2015905045026751471', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Josephine Benedicta Jessica Cristalia Budiarto
jcristalia@yahoo.com

"life is a climb, but the view was great"

number of visitors
(since November 7, 2008):




WISHES

live happily ever after
sarjana hukum universitas katolik parahyangan


TIME




Sunday, June 27, 2010
TERCURI

terkadang segala sesuatu bekerja di luar logika
hal ini juga bekerja secara demikian

awal mulanya hanya saya yang tahu
saya yang menariknya menuju permukaan

dan ketika ia sudah muncul,
ternyata saya menyesal.

ia begitu tergapai.
semua orang memujanya.
dan seketika, saya merasa, hanya jadi sepotong barang yang terlupa.
terpojok di belakang menantikan sinarnya.

entah siapa saya sekarang.
masih spesialkah saya untuknya yang tersesat?

tampaknya kini sayalah yang tersesat.

meracau.

saya kehilangan.

Tuesday, June 8, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS ANNOUNCEMENT

teman teman pembaca TBTL yang saya sayangi dan hormati,
mari berpindah semuanya ke

http://jcristalia.wordpress.com/

itu blog khusus TBTL dan cerita TBTL selanjutnya akan dipindahkan ke blog ini.

Maaf ya pindah2, saya merasa kalau pake blog ini nanti kalo mau curhat ga bisa lagi deh. Kan kurang etis kalau saya tiba2 menyela post TBTL dan curhat2 emo.

jadi untuk mengecek perkembangan TBTL, kalian bisa berhenti baca blog saya yang ini dan pindah ke yang ituu. ehe.

Ahaha.
oke, check it out, guys.

enjoy and don't forget to leave a comment!

Saturday, June 5, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (4)

Aku dan Adi duduk di bawah payung lebar bewarna putih dengan tiang bewarna coklat di Cafè Pisa. Adi memesan semangkuk es krim dengan 12 rasa yang berbeda-beda, Karen pasti gondok setengah mati jika ia tahu ia tidak diajak untuk mengikuti acara membolos yang super menyenangkan ini. Aku berebutan es krim dengan Adi dan tentu saja berebut astornya juga. Sudah lama sekali kami tidak begini. Rasanya sangat menyenangkan apalagi suasana diimbangi dengan langit yang cerah dan angin yang bertiup lembut.

“Kenapa kamu pulang, Di?”

“Sudah dua tahun lebih, Kara.”

“Ya, lalu?”

“Kuliahku sudah selesai, anak bodoh.” Aku nyengir lebar mendengar perkataan Adi. Aku menyendok es krim dari mangkuk,

“Lalu setelah ini kamu mau ngapain, Di.”

“Kerja.”

“Oh, tentu. Di mana dan ngapain?” Adi tertawa mendengar pertanyaanku.

“Kenapa si?” tanyaku lagi.

“Aku merasa sedang diinterogasi.”

“Ya, aku memang sedang melakukannya,” sahutku cuek sambil menatap mangkuk es krim kami yang kosong dengan sedih, “Es krimnya menguap dengan cepat.”

“Pesan lagi,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah pramusaji untuk memesan menu yang sama. Aku tersenyum pada Adi.

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Di,” ujarku ketika pelayan cafè tersebut berlalu. Adi meraih gelasnya dan meneguknya.

“Aku berencana membangun sekolah musikku sendiri, Kara.”

“Wow. Modalnya dari mana?”

“Depositoku dan tentu saja pinjam papa dulu mau tidak mau.”

“Sudah dalam proses?”

“Tentu belum. Aku masih ingin cari pengalaman dulu, Ra. Aku sudah dapat kerja di sini, lumayan, untuk menambah modal,” katanya sambil menarik lengan kemejanya. Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasan Adi.

“Kerja apa, Di?”

“Tentu saja mengajar saxophone.”

“Ooo. Di mana, Di?”

“Kampusmu.” Aku langsung tersedak air putih yang sedang kuminum. Adi dengan sigap menyodorkan beberapa lembar tissue ke arahku sementara aku terbatuk-batuk. Adi tertawa santai.

“Aku serius, Kara. Mulai minggu depan aku akan jadi pendamping Pak Pratama kemudian bulan depan aku resmi jadi dosenmu.” Aku menatap Adi tak percaya.

“Memangnya Pak Pratama mau ke mana, Di?” Pak Pratama adalah dosen saxophoneku yang harusnya kelasnya kuikuti tadi kalau tidak diajak membolos oleh Adi.

“Beliau sudah harus pensiun, Ra. Kamu sadar tidak umurnya sudah berapa?”

“Aaah benar, eh, loh, harusnya tahun ini ya? Tahun ini kan dia sudah 66.”

“Ya, tapi belum ada penggantinya, jadi masih mengajar sampai bulan depan.” Aku mengangguk-angguk kemudian terdiam. Adi menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.

“Pasti rasanya aneh sekali, Di,” kataku sambil menatap matanya dengan dahi yang berkerut.

“Apanya yang aneh?”

“Diajar olehmu.”

“Aku akan mengajar sebaik Pak Pratama kok.” Aku tertawa kemudian menggeleng cepat.

“Bukan itu maksudku, Di. Tentu saja kamu akan sebaik Pak Pratama. Maksudku seperti dosenku adalah kakakku.” Adi tertawa.

“Tenang saja, yang penting aku membawa angin segar di kelasmu.”

“Hah? Apa maksudnya?”

“Aku tampan.”

“APAA?” aku terbelalak menatap Adi tak percaya. Sejak kapan ia narsis begitu.

“Bercanda,” jawabnya singkat disertai dengan senyum kecil.

“Oh tentu,” tensiku turun dengan cepat dan mangkuk ke-2 kami datang. Aku dan Adi saling menatap dan meraih sendok kami masing-masing.

“Satuuuu,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dari mataku. Aku nyengir bandel ke arahnya dan ikutan menghitung,

“Duaaaaa,”

“TIGA!” ucap kami bersamaan sambil menyurukan sendok kami masing-masing ke mangkuk es krim itu, siap menghabiskannya sampai licin.



“ADIIII!!” reaksi Karen sama persis denganku ketika ia melihatku dan Adi berdiri menunggunya di depan kelas piano. Ia langsung berlari dan memeluk Adi dengan erat. Suasana hatiku sudah jauh lebih baik, untung saja Adi pulang. Karen mengamit lengan Adi dengan manja dan kami berjalan di sepanjang koridor kampus. Kami sampai di depan lift. Adi memencet tombol naik di sebelah kiri lift.

Semasa kuliahnya, Adi juga mengambil jurusan saxophone. Ia seorang pemain saxo yang sangat gemilang. Menang di berbagai festival dan sering dikirim ke luar negeri untuk mengikuti lomba-lomba. Pialanya sangat banyak dan ia berhasil semakin mengharumkan nama kampus kami di mata internasional. Adi disayang bukan main oleh rektor kampus kami, dianggap semacam kebanggaan kampus. Dan sekarang, ke sana lah kami akan menuju, ruang rektor kampus kami. Adi bilang ia ingin sekedar menyapa sambil membicarakan soal pekerjaan barunya bulan depan.

“Ini tidak adil,” kata Karen pelan ketika kami melangkah masuk ke dalam lift. Aku dan Adi langsung menoleh ke arah Karen secara bersamaan. Wajah anak itu ditekuk sampai jelek. Adi langsung senyum-senyum,

“Apanya yang tidak adil adikku sayang?”

“Habis pulang-pulang dari Irlandia kamu malah menemui Kara duluan, Di. Adikmu kan aku!!” Adi tertawa senang.

“Salahkan kelasmu mulai duluan, aku jadi tidak bisa mengajakmu makan es krim,” sahut Adi dengan nada menggoda. Aku menyikut siku Adi untuk memperingatkannya bahwa Karen pasti ngambek setengah mati kalau tahu tidak diajak membolos.

“Apaa? Makan es krim? Tadi Kara bolos dong?” Karen memelototiku. Aku langsung buang muka bergaya tidak tahu apa-apa. Adi semakin senang. Ia mengangguk bersemangat,

“Iya, aku yang mengajaknya membolos.”

“Lalu Kara kamu traktir makan es krim?”

“Iya,” jawab Adi sambil mengangguk lagi.

“AAAH GA ADIL!!!” Karen merengut sejadi-jadinya.

“Wah adikku cantik sekali cemberut begitu,” kata Adi sambil mengacak rambut Karen. Karen tersenyum kecut. Lift berhenti di lantai tiga dan terbuka. Untuk ke-2 kalinya hari ini, lututku kembali lemas. Enam personil TBTL berdiri di hadapan kami. Karen langsung membenahi wajahnya yang semula cemberut. Kami berpandang-pandangan sesaat sampai Andri, salah satu personil TBTL membuka mulutnya,

“ADI?” katanya dengan terkejut.

“Wah ANDRI!” balas Adi tak kalah terkejut. Aku dan Karen langsung berpandang-pandangan. Adi kenal dengan Andri? Wah ini sih benar-benar seru!

“Masuk-masuk,” kata Adi mengajak enam personil TBTL untuk masuk ke dalam lift. Aku merapat ke dinding memberi ruang bagi mereka. Betapa banyak kejutan yang kualami hari ini.

“Bukannya lagi di Irlandia ya mestinya?” tanya Andri kepada Adi.

“Udah pulang kok, udah selesai kuliahnya Dri.”

“Wuoow. Memangnya kapan pulangnya?”

“Tadi pagi .”

“Hee? Gila langsung ke sini,” kata Andri sambil geleng-geleng.

“Ada yang harus diurus di sini. Gimana kabar, Dri?”

“Sibuk nge-band akhir-akhir ini.”

“Band apa?”

“Nama band-nya The Broken Traffic Lights, di Irlandia belom sampe si, cuma kalo nge-check di 4shared udah ada kok lagu-lagu kita,” kata Andri sambil tertawa bercanda. Adi mengangguk,

“Ternyata band lu toh yang bikin heboh kampus hari ini.”

“Wah, bisa aja.” Andri tertawa lagi diikuti dengan tawa lima personil yang lain.
Daritadi aku sibuk menatap Ega yang sedang memperhatikan percakapan antara Adi dan Andri. Tulang pipinya yang tegas terlihat begitu sempurna di bawah sinar lampu lift. Sebuah kacamata ber-frame kotak tebal warna hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Matanya agak sayu, sepertinya ia lelah. Terang saja pasti TBTL jadwalnya sangat padat akhir-akhir ini. Dan terakhir kulitnya yang bewarna coklat terbakar membuatnya terlihat lebih tampan lagi. Tiba-tiba aku menyadari betapa tidak sopannya aku menatapnya seperti itu sehingga aku segera memalingkan wajahku menatap sepatuku sambil berharap bisa menatapnya seperti itu lagi. Kami sampai di lantai tujuh, tempat ruang rektor berada. Hatiku diliputi perasaan tidak ingin beranjak dari situ karena ada Ega di dalamnya.

“Bagaimana kalau nanti kita ngumpul?” tanya Andri sebelum kami keluar dari lift.

“Wah boleh, nanti kalo urusan gue udah selesai gue telpon deh. Masih pake nomor yang dulu kan?”

“Iya. Tapi gue ngajak temen band gue ya, Di,” kata Andri sambil menunjuk lima personil TBTL yang lain.

“Oh oke, gue juga ngajak cewek-cewek gue,” balas Adi sambil menunjuk ke arahku dan Karen. ASTAGA. Aku terkesiap dan Karen segera saja memelototi Adi dengan garang. Adi tertawa singkat kemudian melambai ringan ke arah Andri seiring dengan pintu lift yang mulai bergerak menutup.

“DIIII KOK KAMU BISA KENAL SAMA ANDRI???”

“Jeez Karen, tidak usah berteriak seperti itu,” jawab Adi dengan wajah kaget.

“Ahh, maaf, maaf, aku terlalu gembira,” kata Karen memelankan volume suaranya.
Kemudian percakapan mereka berubah menjadi dialog sayup-sayup di kepalaku. Aku sibuk
membayangkan Ega. Ega, Ega, dan Ega. Aku mendengarkan bagaimana Adi bertemu Andri dengan tidak seksama, pikiranku sepenuhnya tertuju pada Ega sampai akhirnya lenganku diguncang-guncang oleh Karen yang sedang super excited dengan kenyataan kakaknya teman Andri,

“KARA BAYANGKAN HABIS INI KITA AKAN PERGI BARENG TBTL!!”

“Astaga Karen, santai,” jawabku benar-benar kaget. Karen nyengir senang dan kembali mengamit lengan Adi dengan manja kemudian berjalan dengan sedikit melompat-lompat. Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatku itu.

“Kalian tunggu di sini saja, aku tidak lama,” ujar Adi ketika kami sampai di depan pintu ruang rektor. Aku dan Karen mengangguk mengerti kemudian melambai kecil ke arah Adi. Sementara Adi menghilang di balik pintu besar, aku dan Karen berjalan menuju ujung lorong dan duduk di depan sebuah jendela besar, di lantai.

“Aku senang Adi pulang,”kata Karen lembut. Aku mengangguk menyetujui perkataannya.

“Kalau aku bukan adiknya pasti aku sudah naksir berat sama Adi,” katanya lagi, kali ini sambil meluruskan kakinya. Aku mengangguk lagi. Karen langsung menatapku sambil memicingkan mata,

“Kamu suka Adi ya, Kara?”

“Hah?”

“Kamu kan memang bukan adiknya! Tadi kamu juga setuju kalau bukan adiknya pasti naksir berat sama dia,” seru Karen.

“Astaga,” aku tertawa, “Tentu saja aku suka sekali sama Adi, tapi bukan suka seperti itu, Ren. Bagiku ia juga seorang kakak bukan seorang pria. Eh tentu saja ia seorang pria, hmmm, ya kamu mengerti lah maksudku,” jawabku tenang. Karen mengangguk.

“Padahal menyenangkan sekali membayangkanmu menikah dengan Adi.” Aku tertawa lagi mendengar perkataan Karen.

“Tidak kok. Itu tidak mungkin, Karen.”

“Sungguh, Ra, kalian cocok.”

“Hmm, kita lihat saja nanti.” Karen hendak membuka mulutnya untuk membalas perkataanku tapi ia tidak jadi melakukannya karena kami mendengar suara langkah kaki. Awalnya kukira itu Adi tapi ternyata itu adalah ke-6 personil TBTL.

“Hai,” Andri melambai kecil kepada kami, “Adi menyuruh kami naik ke sini.”

“Ohyaya, tunggu ya, Adinya masih di dalam ruang rektor,” kata Karen bersemangat. Matanya berbinar-binar, ia benar-benar senang melihat TBTL. Setelah itu, suasana menjadi sunyi, ke-2 pihak salah tingkah.

“Ehhm, kenalkan ini teman-temanku,” kata Andri lagi. Aku tersenyum mendengarnya. Manis sekali si Andri ini.

“Kami tahu kok siapa kalian,” jawab Karen dengan riang.

“Ohh, baiklah, kalian siapa?” Senyumku semakin mengembang. Entah mengapa perkataan Andri membuatku merasa kembali ke masa-masa SD ketika berkenalan dengan anak sekolah lain.

“Aku Karen dan ini sahabatku, Kara,” Karen menjawab lagi. Ke-6 personil TBTL mendengarkan perkataan Karen dengan seksama. Aku menatap mereka satu persatu. Ya ampun, benar-benar tidak adil, jika enam makhluk sempurna membentuk sebuah grup ternyata hasilnya benar-benar seperti menatap mimpi.

Andri yang berada paling depan memakai kaos dengan gambar Astro boy warna putih dan jeans biru. Ia tidak begitu tinggi dibanding ke-5 temannya yang lain tapi matanya yang berbinar ceria dinaungi alis yang tebal dan hidungnya yang mancung tidak membuatnya kalah tampan dengan ke-5 temannya. Di sebelahnya berdiri Pasha Putra Perkasa, wajahnya agak lonjong, tulang pipinya tinggi, dan sorot matanya tajam. Ia memakai kaos coklat dengan pinggiran kerah bewarna salem yang dilapisnya dengan cardigan warna coklat muda yang digulung asal-asalan sampai ke pangkal lengan. Rambut halus yang tumbuh di sekitar dagunya tidak dicukur rapi membuatnya terlihat tegas. Berbeda dengan Jamie Raditya yang berdiri di belakangnya, ia lebih tinggi kira-kira 5 cm dari Pasha. Kulitnya sedikit coklat dengan rambut pendek rapi dan tulang hidungnya tidak terlalu tinggi. Matanya hitam dan dilapisi dengan kacamata berframe hitam tipis yang membuatnya terlihat pandai. Ia mengenakan kemeja warna biru laut yang digulung rapi sampai pangkal lengannya dan jeans gelap. Kemudian, di sebelah kiri Andri berdirilah Gio. Seperti layaknya orang Batak, kulit Gio agak gelap dengan rahang kotak yang sangat tegas. Matanya besar dan alisnya tebal, kurang lebih ia setinggi Pasha dan wajahnya sangat ramah. Di serong kiri belakang Gio, berdirilah Angga. Angga paling kurus dibanding ke-5 personil TBTL yang lain. Rambutnya keriting pendek dan warnanya tidak terlalu hitam. Kulitnya putih dan rahangnya kotak. Matanya berbentuk seperti kacang almond dan bibirnya tipis. Ia mengenakan kaos warna biru gelap dan jeans putih. Dan terakhir di belakang Andri berdirilah Ega. Ia masih tampak sama tampannya dengan Ega yang tadi di lift, ia mengenakan kaos hitam dan jeans biru keabu-abuan. Tetap saja, dari deskripsi panjang lebar di atas, hanya satu kata yang benar-benar tepat mendeskripsikan mereka : tampan. Tampan dengan caranya masing-masing.

“Jadi yang mana pacar Adi?” tanya Andri memecah kesunyian. Aku dan Karen segera berpandang-pandangan dan tertawa geli kemudian Karen menjawab Andri sambil geleng-geleng kepala,

“Tidak ada, aku adiknya dan Kara sahabatku dari kecil, jadi sudah seperti adiknya juga.”

“Ah, lu kan cewek atap itu!” tiba-tiba Gio menyambar dari belakang dengan logat bataknya, “Pantas dari tadi rasanya pernah lihat.” Aku tersenyum ke arah Gio. Karen menatapku bingung.

“Enak ya di atas sana?” Gio mengangguk mendengar perkataanku.

“Ya, sepertinya kita berhutang kata terima kasih nih,” kata Angga dengan suaranya yang berat. Aku tertawa,

“Jangan dipikirkan. Bagaimana rasanya hari pertama di kampus?” tanyaku sopan.

“Terkejut sekali dengan sambutannya,” Pasha menjawab, suaranya berbeda dengan saat ia menyanyi, yang sekarang terdengar jauh lebih ringan. Aku tertawa lagi.

“Kenapa kalian pindah ke kampus ini?” Karen bertanya dari sebelahku.

“Kami pindah label dan pemilik label itu juga ternyata pemilik kampus ini,” jawab Pasha sambil menatap Karen. Karen pasti sangat berdebar-debar, aku bisa merasakan ia sedikit merosot di sampingku, mungkin akibat lututnya lemas bisa mengobrol langsung dengan idolanya. Aku meluruskan kakiku.

“Di sini tidak buruk kok, kalian hanya perlu membiasakan diri,” kataku tenang. Pasha mengangguk.

“Semoga orang-orang juga segera terbiasa dengan kehadiran kita di kampus,” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Pasti tidak enak sekali kalau selalu dikejar fans begitu, bahkan di kampus sekali pun. Jangan-jangan atapku sebentar lagi juga ramai dengan fans TBTL.

“Apakah kalian fans kita juga?” tanya Andri tiba-tiba. Di belakang sana Ega terkikik geli dan Gio merengut.

“Dri, apaan si lu nanya begitu, ga sopan, ancur,” kata Gio sambil memukul kepala Andri.

“Ga usah dijawab Kara, anggap aja orang gila,” sahut Angga yang sekarang bergabung memelototi Andri. Tiba-tiba aku merasa dialog-ku dan Pasha tadi sangat formal mendengar reaksi Gio dan Angga sekarang. Aku tertawa-tawa melihat tingkah mereka, seru sekali nampaknya sangat akrab. Dan akhirnya, Adi keluar dari ruang rektor.

“Sudah bertemu rupanya,” katanya singkat. Karen mengangguk antusias.

“Jadi kita mau ke mana, Dri?” kata Adi lagi.

“Makan siang dong!” sahut Andri sambil nyengir lebar.

“Ke mana?”

“Sesuatu yang jauh dari fans,” jawab Ega tiba-tiba sambil menegakkan tubuhnya. Kami pun berjalan sepanjang lorong untuk segera meninggalkan kampus dengan Ega di paling depan.

*end of chapter two.

>>to be continued.

THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (3)

BAB II
KEJUTAN


Selesai dari kelas umum, aku berpisah dengan Karen. Ia masuk kelas piano dan aku menuju kelas saxophone. Di kampus kami, kelas alat musik tiup sedikit peminatnya. Yang terbanyak tentu saja piano, kemudian alat musik gesek seperti biola, dilanjutkan dengan kelas alat musik daerah. Kelas ini unik sekali jadi jika kamu tergabung dalam kelas itu kamu akan mempelajari alat musik khas Indonesia seperti gamelan, angklung, dan sebagainya. Peminat kelas musik daerah memang semakin banyak, menyadari musik daerah di Indonesia mulai dilupakan sehingga menjadi langka dan bayarannya sangat tinggi saat sekali tampil. Selanjutnya kelas alat musik petik seperti gitar, harpa, dan kecapi. Terakhir alat musik tiup yang terbagi menjadi kelas saxophone, trumpet, flute, dan lainnya. Anak yang tergabung di kelas saxophone sedikit sekali, kami hanya ber-8. Rata-rata jumlah siswa kelas alat musik tiup memang sedikit, kurang dari 10 orang.

Kelas saxophone belum ada orang. Memang jadwal kuliah kami dimulai 30 menit lagi. Hanya saja biasanya kelas tetap ramai, setidaknya untuk sekedar mengobrol dan berlatih meniup. Mungkin ini ada hubungannya dengan kehadiran TBTL di kampus. Semua orang jadi lebih senang berjalan-jalan di koridor dengan harapan akan berpapasan dengan TBTL, mungkin kalau bisa mengajak mereka kenalan, atau mencomot salah satu personilnya untuk diajak bergabung ke dalam band mereka. Perlu diingat, kampus kami adalah kampus musik, jadi banyak sekali band-band yang dibentuk di sini.
Perasaan tidak suka muncul kembali di benakku saat memikirkan orang-orang kampus bereaksi berlebihan terhadap TBTL. Kemudian aku merasa aku sangat konyol karena mereka kan sedang tenar jadi tidak heran kalau akhir-akhir ini fans-nya benar-benar banyak. Lagipula mereka memang bagus jadi tidak heran kalau fans-nya histeris. Aku meletakkan koper saxophoneku di atas meja. Duduk sambil menopang dagu, kemudian menghela napas. Mengapa mereka pindah ke kampus ini ya? Agak aneh. Mungkin saja jadwal kuliah kami santai dan mereka memang ahli dalam alat musiknya masing-masing, tentu saja akan mudah untuk mengikuti materi yang disuguhkan kemudian mendapatkan hasil yang sempurna. Aku menghela napas kembali.

“Kara,” sebuah suara lembut yang sudah lama tak kudengar memanggilku dari belakang. Aku menoleh.

“ADI? Oh Tuhan aku kangen sekali!” aku langsung belari ke tempatnya berdiri. Memeluknya dengan erat.

Aditya Surya Wisnuputra atau yang biasa kupanggil Adi berdiri di hadapanku sekarang. Aku benar-benar kangen padanya. Adi adalah kakak laki-laki Karen. Dua tahun lalu ia pergi ke Irlandia untuk melanjutkan sekolah musiknya. Umur kami berbeda 4 tahun, saat Adi ke Irlandia, aku dan Karen masih kelas 3 SMA. Kami ber-3 dekat sekali dan Adi sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Adi balas memelukku, parfumnya yang lembut menyeruak di hidungku, wangi yang sama dengan tahun-tahun lalu.
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat-lekat.

“Kapan kamu sampai, Di?”

“Tadi pagi,” katanya sambil tersenyum riang.

“Karen tahu?”

“Tidak”

“Sudah bertemu dengannya?”

“Belum, kelas piano sudah dimulai kan?” Aku mengangguk. Kami berpandangan kemudian tertawa bersama. Setelah itu duduk berdampingan. Adi tinggi dan tegap. Wajahnya mirip sekali dengan Karen, ia cukup tampan. Adi merupakan sosok kakak yang sempurna bagiku, ia logis dan bijaksana. Nasihatnya begitu menenangkan walaupun terkadang ia berbicara tentang sesuatu yang menyakiti hatiku. Tapi Adi tahu bagaimana menyampaikannya padaku sehingga aku bisa menerima segala nasihatnya dan tentu saja menerimanya dengan lapang dada kemudian memperbaiki sikapku.

“Bagaimana kabar Om dan Tante Tangbinbia?” Adi menganggap nama keluargaku sangat lucu sehingga ia jarang sekali memanggil ayah ibuku dengan sebutan Om Raka dan Tante Anjani namun selalu dengan nama Tangbinbia.

“Mereka baik. Dan mereka akan super senang kalau tahu kamu pulang, Di.”

“Ohya? Kenapa?”

“Karena Adi akhirnya kembali untuk mengawasi putri mereka yang nakal.” Adi tertawa
mendengar perkataanku.

“Dasar anak perempuan.”

“Ya memang begitu. Biasanya orang tua tidak pernah menganggap anak perempuannya cukup dewasa untuk menghadapi kenyataan hidup sendiri. Menurut mereka usia kuliah pun belum bisa lepas dari pengawasan.”

“Tenanglah Kara, kamu kan anak tunggal jadi tak heran ayah ibumu khawatir terus. Kalau kamu tidak ada mereka harus menyayangi siapa?” Aku menghela napas.

“Ya aku mengerti. Tapi memang selalu begitu bukan? Anak perempuan selalu dilarang-larang.”

“Ya, aku tahu, ayah ibuku juga protektif terhadap Karen. Tapi ya memang begitu Kara, kalau kalian diapa-apakan ruginya kalian yang tanggung, kita sih kaum lelaki tidak berbekas apa-apa. Mengerti kan maksudku? Tidak semua orang baik di luar sana.” Aku mengangguk mendengar perkataan Adi, kemudian menghela napas.

“Nah, ini yang ingin kutanyakan. Sedang kesal bukannya?”

“Hah?”

“Kamu menghela napas terus dari tadi.”

“Ooh, ya begitulah. Ada yang terasa sedikit mengganggu.”

“Mau cerita?” tanyanya singkat. Aku menghela napas dan menggeleng.

“Kamu akan menganggapku anak paling konyol satu dunia jika kuceritakan.” Adi tersenyum kecil sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya.

“Aku memang sudah menganggapmu begitu.” Aku menatapnya tak percaya. Adi tertawa melihat perubahan ekspresiku.

“Aku bercanda.”

“Tentu,” jawabku singkat. Tanganku bergerak menopang daguku dan aku menghela napas lagi.

“Tuh kan. Dua kali dalam semenit.”

“Ini masalah konyol, Di. Aku tidak ingin ditertawakan.”

“Aku tidak akan menertawakanmu.”

“Ini memalukan.”

“Hmmm...”

“Sangat memalukan.”

“Jadi sebenarnya kamu ingin cerita atau tidak?” Aku menghela napas lagi dan memulai
ceritaku tentang betapa tidak sukanya aku dengan kepindahan TBTL di kampus ini karena mereka terasa begitu tergapai dan aku tahu perasaanku ini konyol tapi aku tetap saja tidak suka. Apalagi menerima kenyataan bahwa aku tegila-gila dengan teman sekampusku sendiri sekarang. Maksudku, tergila-gila pada Ega. Adi tersenyum-senyum mendengar ceritaku.

“Kamu menertawakanku.”

“Oh, maaf,” katanya sambil menghentikan senyumnya. Ia melirik arlojinya singkat
kemudian bangkit berdiri dan menarik lenganku.

“Ayo.”

>>to be continued.

Tuesday, June 1, 2010
THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (2)

Aku jelas-jelas tercengang dengan suasana kampusku pagi itu. Orang-orang berkerumun riuh rendah membentuk sebuah lingkaran di taman. Alisku berkerut bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Tiba-tiba ide bahwa ada seseorang yang baru saja melompat dari atap kampus terbersit di benakku. Oke, aku mulai berlebihan, namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menduduki angka yang cukup tinggi akhir- akhir ini.

Tapi detak jantungku sedikit memelan ketika melihat David masih duduk dalam posisi bertapa di bawah pohon akasia di pinggir taman. Untuk sekedar informasi, David adalah seorang mahasiswa yang entah sejak tahun kapan tidak kunjung lulus. Ada kabar burung yang kudengar katanya dahulu ia jenius dan ambisius namun karena menganggap remeh, ujiannya gagal sehingga ia sangat terpukul dan sejak saat itu beralih profesi menjadi “petapa pohon akasia” karena ia memang selalu duduk dalam posisi bertapa di bawah pohon akasia. Aku sama sekali tidak mengada-ngada, mungkin David adalah orang yang terlihat paling stress satu kampus. Kacamata ber-frame hitam tebalnya merosot sampai pucuk hidung dan ia mengancing kemejanya sampai atas. Ia berjalan dengan linglung dan tak lupa, ia memejamkan mata, bersila dan meletakkan tangannya di atas paha di bawah pohon akasia. Oke, cukup tentang David, aku berjalan mendekat dan mencoba melihat apa sesungguhnya yang berhasil menggemparkan kampusku, namun lingkaran itu begitu ketat sehingga menurutku percuma saja aku mencoba melongok ke dalamnya. Akhirnya aku berjalan dengan malas menuju kelas pertamaku di lantai lima.

Kelas itu sebenarnya adalah ruang auditorium yang mungkin bisa memuat hampir 500 orang. Namun entah sejak kapan ruangan itu menjadi multifungsi, selain untuk pertemuan dan pentas, ruangan ini juga digunakan sebagai kelas. Namun, kelas yang dilakukan di sini adalah mata kuliah umum seperti bahasa Inggris dan sejarah musik. Ehm, maksudku, untuk anak-anak fakultas musik, kami wajib tahu sejarah perkembangan musik jadi sejarah musik masuk mata kuliah umum kami. Yang pasti kelas ini dihadiri bersama-sama satu angkatan tanpa memandang kamu dari jurusan mana.

Aku kembali ternganga menyadari suasana kelas yang lebih sepi daripada biasanya. Sepertinya apapun hal di bawah itu sungguh menggemparkan karena seharusnya jam segini kelasnya sudah hampir penuh. Aku memilih sebuah bangku di pojok ruangan, meletakkan tasku di atas meja kemudian merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan sarapanku. Aku terbiasa begini, makan sandwich yang isinya sangat variatif tergantung keinginan pembantuku dan minum air hangat yang diletakkan di dalam thumbler. Kemudian aku melangkah ke luar kelas dan menuju atap kampus.

Di atas sini sangat menyenangkan. Matahari pagi yang belum menyengat mulai menunjukkan dirinya dari balik awan yang bewarna putih dengan semburat warna pink dan jingga akibat biasnya. Angin di atas sini juga sangat nyaman, selalu bertiup lembut kecuali hari hujan. Yang menjadi bagian kesukaanku adalah mengamati anak-anak kampus yang menjadi titik-titik bewarna-warni dari sini. Aku mengeluarkan iPod dari saku jeansku dan memutar sembarang lagu di dalamnya. Kemudian aku mulai membuka sandwich-ku yang dibungkus rapi dengan plastik tahan panas saat handphoneku bergetar.

From : Karenina Wisnuputri
22.02.2010
07.15

KARA! KAMU DI MANA? PENTINGG!!!!!

Aku tersenyum senyum sendiri membaca sms Karen. Pasti ada kejadian yang sangat menyenangkan, soalnya sms-nya di capslock semua. Karen memang selalu berlebihan untuk hal-hal seperti ini. Aku segera mengetik balasan untuk Karen. Ingin tahu hal menghebohkan apa yang terjadi hingga ia segembira itu.

To : Karenina Wisnuputri
22.02.2010
07.15

aku di atap. sini kamu. ahaha.

Selesai membalas, aku mengunyah sandwichku sambil menikmati pemandangan di bawahku. Titik warna-warni berlalu lalang di bawah sana. Tampaknya kerumunan yang kulihat tadi pagi sudah tidak ada. Tiba-tiba aku merasa ada orang yang datang. Pasti itu Karen, tapi tumben sekali ia berjalan cepat. Biasanya jalannya sudah seperti putri Keraton. Aku membalikkan badan dan bukan Karen yang kudapatkan di sana. Aku terpaku, lututku lemas. Yang berdiri di depanku adalah KE-6 PERSONIL TBTL! Aku langsung membalikkan badanku lagi menghadap ke balkon untuk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu, kaget dan berdebar-debar. Oh Tuhan, aku melihat Ega! Ada Ega di belakangku!

“Hmm, kayaknya kita harus turun lagi ya?” ucap seseorang di belakang sana. OH. Aku mengerti sekarang, kerumunan tadi pagi pasti TBTL dan tampaknya mereka naik ke sini untuk menghindari fans yang luar biasa histeris. Aku membalikkan badanku kembali dan menatap mereka satu persatu. Tersenyum kecil kemudian berkata,

“Permisi,” setelah itu aku berlalu dari hadapan mereka. Sepertinya harus aku yang tahu diri dan hengkang dari situ. Aku berjalan cepat ke arah lift dan memencet panel yang terekat di dinding untuk turun dari situ. Ketika pintu lift terbuka alangkah terkejutnya aku mendapati Karen sendirian di dalam lift dengan tatapan kosong plus bibir yang menyunggingkan senyum bahagia.

“Astaga, Karen.”

“KARA!” Karen tersadar dari lamunannya.

“Apa-apaan sih kamu kayak orang gila ngelamun di dalam lift begitu,” ucapku sambil melangkah masuk ke dalam lift.

“Aaaah tidak penting itu, TBTL KULIAH DI KAMPUS KITA KARA!!! Ya ampun, ya ampuun!” seru Karen sambil melompat-lompat bahagia di dalam lift. Aku menatapnya sambil geleng-geleng. Setelah itu ia menyerocos tanpa henti menceritakan betapa hebohnya tadi pagi dan betapa tampannya Pasha hari itu. Kami menuju lantai lima diiringi dengan jeritan seru Karen yang heboh sendiri akibat terlalu bahagia mendapati Pasha-nya kuliah di situ sekarang.

Kelas sudah penuh sesak sekarang. Suasanya riuh rendah, semua orang membicarakan TBTL yang membuat gempar kampus hari itu. Karen bergabung dengan segerombol cewek di depan ruang auditorium yang sedang mengobrol dengan hebohnya. Tiba-tiba timbul perasaan tidak suka di dalam hatiku. Aku menghela napas, menuju kursiku dan duduk di atasnya. Tanganku sibuk mengeluarkan buku catatan dan alat tulis dari tas-ku sedangkan pikiranku melayang ke mana-mana. Entah mengapa rasanya menikmati TBTL di panggung begitu menyenangkan. Setidaknya mereka terasa begitu unreachable. Namun dengan kepindahan mereka di kampus ini, segalanya terasa begitu dekat. TBTL bisa digapai semua orang. Dan entah mengapa aku tidak suka. Oh Tuhan, aku cemburu tanpa alasan untuk sesuatu yang bukan milikku. Aku menggeleng kuat-kuat ketika suasana kelas yang riuh rendah terhenti dan semua orang berlarian ke kursinya masing-masing. Dosen kami sudah datang.

Karen duduk di sebelahku mengeluarkan peralatan tulisnya yang serba kuning. Ia memang sangat menyukai warna kuning. Aku membalas senyumnya yang riang dengan senyum kecil. Suasana hatiku sungguh tidak enak. Segera saja aku mengalihkan perhatianku ke arah dosen yang mulai berbicara tentang sejarah musik. Dan dua jam berjalan sangat lambat.

*end of chapter one.

>>to be continued.

THE BROKEN TRAFFIC LIGHTS (1)

BAB I
INTRODUKSI


Cahaya panggung menyinari mereka yang tak kalah menyilaukannya dengan gemerlap cahaya itu sendiri. Menatap mereka bagaikan mimpi, kemudian kamu akan menyadari betapa tidak adilnya Tuhan atas ciptaan-Nya yang begitu sempurna. Aku semakin tenggelam dalam musik yang mengalun menyenangkan bersama ribuan pekik histeris menyoraki ke enam bintang yang fantastis. Namun, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tidak pernah bisa melepaskan pandanganku dari sosoknya. Seluruhnya hanya tertuju padanya, bukan lima yang lain. Dia, di balik drumnya, Rega Reksoprodjo, Ega.

***

Hai, aku Kara, Reika Karanjani Tangbinbia. Anak tunggal dari keluarga besar Tangbinbia. Kamu pasti tahu siapa keluarga karena kami memang pemilik stasiun televisi terbesar satu Indonesia, orang-orang biasa menyebutnya TN atau Tontonan Nusantara. Perusahaan ini hasil jerih payah kakek buyutku dan ia sengaja menamainya begitu untuk memberi citra ke-Indonesiaan pada stasiun TV kami. Namun tentu saja acara yang diputar merupakan sebuah kolaborasi antara acara nasional dan internasional.

Ya cukup dengan stasiun TV, aku sembilan belas tahun sekarang. Dan selama itu aku belum pernah punya pacar. Aku pendiam, cenderung susah dekat dengan orang lain karena aku punya pengalaman masa kecil yang buruk. Saat itu aku duduk di bangku SD, dengan banyak teman yang kuanggap teman baik dan tanpa kusangka suatu hari aku menemukan teman-temanku sedang membicarakan diriku. Aku dinilai anak kecil tak berotak yang kebetulan saja bisa masuk di sekolah itu (sekolahku dulu salah satu sekolah unggulan kota Jakarta) bukan karena kepandaianku tapi karena uang orang tuaku. Dan salah satu dari mereka mengatakan bahwa jika aku tidak kaya tentu saja ia malas dekat-dekat denganku. Aku kecewa sekali. Aku tak menyangka ada politik pertemanan semacam itu, berteman karena uang orang tuaku. Bahkan kami semua masih bocah SD. Tapi, itulah dunia.

Kemudian aku sadar memang tidak ada yang bisa menggantikan Karen. Karen sahabatku dari kecil. Keluarganya juga bukan keluarga yang ekonominya rendah. Ayahnya direktur Hotel Noki, sebuah hotel yang ternama di bilangan Jakarta Pusat. Aku selalu dengan Karen sejak kecil kecuali di SD itu. Bahkan sekarang kami duduk di kampus yang sama,. Sebuah kampus khusus musik terbaik satu Indonesia. Sepertinya kalian akan mulai bosan dengan kata “terbaik” tapi begitu lah hidup orang-orang di kelas ekonomi tinggi sepertiku.

Baiklah kembali lagi tentang diriku. Aku sama sekali tidak cantik. Aku tidak ramah. Tubuhku juga tidak tinggi semampai dan tidak berukuran S seperti model-model. Aku cenderung terlihat sedikit berisi. Kulitku coklat, rambutku hitam sedada, dan biji mataku sama hitamnya dengan rambutku.

Aku berbeda sekali dengan Karen, semua orang bilang Karen manis. Matanya besar dan bijinya bewarna coklat muda, jika tersenyum ia memiliki lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Rambutnya hitam sebahu dan kulitnya kuning langsat. Karen langsing dan mungil. Dan ia sangat ramah membuat semua orang nyaman bersamanya. Aku ingin sekali merasa iri kepadanya namun memiliki Karen sebagai teman terdekat sudah merupakan anugerah yang besar dalam hidupku. Setidaknya ia tidak berteman denganku karena uang ayahku, dan ia bisa diajak menonton konser tanpa tiket VIP. Aku selalu merasa lebih seru begitu, maksudku, merakyat.

Sekarang aku berada di dalam mobil bersama Karen. Kami melakukan perjalanan pulang setelah menonton konser salah satu band yang sedang naik daun di Indonesia. Namanya The Broken Traffic Lights, orang-orang menyebutnya dengan sebutan TBTL (baca: ti-bi-ti-el). Band ini memiliki enam personil yang isinya cowok semua. Mereka semua sangat tampan dan skillful. Vokalisnya bernama Pasha Putra Perkasa (Pasha), ini favoritnya Karen. Kemudian, di gitar ada Sebastian Gregory Sitohang (Gio), pemain bass-nya bernama Jamie Raditya (Radit), keyboardisnya bernama Rangga Restu Jiwanegara (Angga), dan drummernya bernama Rega Reksoprodjo (Ega). Ega adalah special interest-ku di band ini. Dan tak ketinggalan TBTL juga memiliki seorang pemain trumpet yang bernama Andri. Mereka luar biasa.

“Hhhhh malasnya besok kuliah,” Karen menghela napas keras di sebelahku. Aku menoleh kepadanya.

“Memangnya ada test?” Karen menggeleng.

“Malas saja. Melihat TBTL membuatku merasa dreaming-dreaming sendiri kemudian tidak ingin kembali ke dunia nyata,” lanjutnya sambil tersenyum-senyum bahagia. Aku terkikik. Jelas, rasanya bayangan Ega juga masih melekat dengan sempurna di benakku.

“Kamu harus tahu ya Kara, sepertinya tadi Pasha melihat ke arahku waktu nyanyi Favourable Monday.” Aku tertawa mendengar perkataan Karen.

“Jangan menertawaiku, aku seriuuus,” sambungnya kesal sambil pura-pura merengut.

“Iya iyaaa.”

“Kamu tahu tidak Ra, katanya TBTL pindah label.”

“Ohya? Semoga semakin sering konser deh mereka.” Karen mengangguk bersemangat mendengar perkataanku.

“Memangnya mereka pindah ke label apa?”

“Aku tidak tahu,” kata Karen sambil menggeleng, “Di majalah si tidak disebut ke mana.”

“Ooh. Kenapa ya? Padahal label mereka sekarang tidak buruk loh.”

“Mungkin bayarannya lebih tinggi kali,” sahut Karen sambil mengangkat bahu.

“Hmm.. Bisa jadi.”

Perjalanan kami lanjutkan dalam diam. Lagu-lagu TBTL mengalun merdu dari tape mobil. Sekitar 15 menit kemudian Honda City hitam Karen berhenti di depan rumahku.

“Sampai ketemu besok, Ren”

“Okay, sampai besok,” kata Karen sambil melambai ringan padaku. Lesung pipinya terlihat jelas.

Akhirnya aku sudah sampai di penghujung hari Minggu, saatnya kembali ke dunia nyata sekarang walaupun bayangan tentang Ega masih terbersit jelas di benakku.

>>to be continued.

WELCOME JUNE

halo bulan Junii!

senangnya ini tanggal satu artinya : SAYA GAJIANN.
ahuuy prikitiew.
wi wi wiiii.

ohya,
mulai sekarang gw mau post cerita bersambung di blog ini.

judulnya TBTL (baca : ti-bi-ti-el)
TBTL itu singkatan dari The Broken Traffic Lights

wah apa itu?
untuk lebih tau, baca post selanjutnya yaaa.

oke sedikit bocoran.
karena saya terlalu suka bermimpi saya ingin sekali menulis tentang hal ini.
yang sangat menginspirasi saya adalah F4 *sounds lame hehe* dan andriani putri.
ohyaa, dulu cerita ini sempet ditulis waktu smp tapi norak banget dan belom jadi,
jadi ini lagi di re-build dengan pemikiran yang dewasa tapi ga lari dari kesan dreamingnya.
ahaha. I DO LOVE DREAMING!

do you love it too?
READ IT!

happy reading guys
hope you like it!